Tidaklah
berlebihan bila kami mengatakan bahwa materi Al-Iman dan Al-Kufr ini adalah
materi keagamaan yang paling penting, karena banyaknya hukum-hukum yang
dibangun di atasnya di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“ Apakah
orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan
mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu
sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka
itu “ (Al-Jaatsiyah: 21)
Adapun di
akhirat, maka sesungguhnya akhir tempat kembali makhluk ke surga atau ke neraka
itu tergantung kepada Al-Iman dan Al-Kufr. Adapun di dunia, maka hukum-hukum
yang dibangun di atas hal itu adalah sangat banyak, di antaranya:
1. Dalam
urusan-urusan siyasah syar’iyyah (politik syar’iy): yaitu apa-apa yang
berkaitan dengan keadaan-keadaan para penguasa dan sistem-sistem pemerintahan
di suatu negara, maka sesungguhnya hukum-hukum Al-Iman dan Al-Kufr yang
berkaitan dengan hal itu sangatlah penting karena ia memiliki pengaruh terhadap
seluruh kaum muslimin bukan sebagian, sebab sesungguhnya Allah Ta’ala telah
mewajibkan kaum muslimin mentaati dan membantu pemerintah yang muslim,
sebagaimana Dia mengharamkan atas mereka taat atau membantu pemerintah yang
kafir, serta Dia mewajibkan atas mereka untuk melengserkan pemimpin bila dia
kafir, oleh sebab itu para ulama’ berkata sesungguhnya wajib atas setiap muslim
untuk mengetahui keadaan pemerintahnya. (lihat Al-Mustashfa, Abu Hamid
Al-Ghozali juz 2 hal 390) .
Pentingnya hal
ini dijelaskan dengan realita bahwa negara-negara yang diperintah dengan
qowanin wadl’iyyah (UU buatan manusia)-sebagaimana ia adalah realita hari ini
di berbagai negeri kaum muslimin- adalah memiliki hukum-hukum yang sangat
penting yang wajib diketahui oleh setiap muslim, agar binasa orang yang binasa
di atas kejelasan dan agar hidup orang yang hidup di atas kejelasan. Dan
diantara hukum-hukum ini adalah:
A. Bahwa para
penguasa negeri-negeri ini adalah kafir dengan kufur akbar lagi keluar dari
Islam.
B. Bahwa para
hakim di negeri-negeri ini adalah kafir dengan kufur akbar, dan ini artinya
haram bekerja dengan profesi ini.
Sedangkan dalil
kekafiran para penguasa dan para hakim itu adalah Firman-Nya Allah Ta’ala :
“… Barang siapa
yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir .” (Al-Maidah: 44)
Pengisyaratan
kepada materi ini akan ada pada saat membicarakan kekeliruan-kekeliruan takfir
di akhir materi bahasan ini, dan begitu juga dalam materi ke empat dari bahasan
ke delapan dari pasal ini, yaitu materi khusus tentang al hukmu bi ghairi ma
anzalallah , di mana di dalamnya ada isyarat sekilas tentang bantahan terhadap
sebagian syubhat yang muncul saat berdalil dengan ayat ini Insya Allah, maka
silahkan rujuk ke sana.
C. Bahwa tidak
boleh tahakum (berhakim/mengajukan perkara) kepada mahaakim di negeri-negeri
ini, dan tidak (boleh pula) bekerja di sana. Dan barang siapa tahakum kepada
undang-undang mereka seraya ridho dengannya, maka ia kafir juga.
D. Bahwa anggota
lembaga-lembaga legislatif di negeri-negeri ini -seperti parlemen, majelis
rakyat, dan yang lainnya– adalah orang-orang kafir dengan kufur akbar , karena
merekalah orang-orang yang merekomendasikan penerapan
qowanin yang
kafir ini dan merekalah orang-orang yang membuat hukum-hukum baru darinya.
E. Bahwa
orang-orang yang memilih para anggota parlemen-parlemen ini adalah orang-orang
kafir dengan kufur akbar, karena mereka dengan pencoblosannya ini berarti
menjadikan para wakilnya itu sebagai arbab musyarri’in (tuhan-tuhan yang
membuat hukum) selain Allah, sedangkan yang dianggap itu adalah isi (makna).
Dan kafir juga setiap orang yang mengajak untuk ikut memilih atau yang
menyemangati orang untuk ikut serta di dalamnya. Sedangkan dalil kekafiran para
anggota parlemen itu adalah firman Allah Ta’ala : “ Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang
menyari’atkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak di izinkan Allah?”
(Asy-Syura: 21)
Dan firman-Nya
Ta’ala :
“ Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (Tuhan-tuhan)
selain Allah… ” (At-Taubah: 31)
Para ulama’
tafsir tidak berselisih bahwa rububiyyah (penuhanan) di sini adalah dalam hal
tasyri’ (pembuatan hukum) selain Allah, sedangkan para wakil rakyat (di)
parlemen-parlemen ini adalah arbab yang merebut wewenang pembuatan hukum
(UU/UUD) dari Allah. Orang-orang yang memilih mereka adalah menjadikan mereka
sebagai arbab selain Allah.
Pembicaran dalam
masalah ini telah lalu dalam bab ke empat dari kitab ini dalam materi niat saat
membantah Fatwa Syaikh Ibnu Baz, dan akan datang dalam materi pertama yang
khusus berkaitan dengan Siyasah Syar’iyyah pada
mabhats ke
delapan tambahan rincian dalam masalah ini Insya Allah Ta’ala .
F. Bahwa haram
memba’iat para penguasa itu untuk memegang pemerintahan di negeri-negeri ini
atau untuk terus memerintah sebagaimana yang terjadi pada berbagai jajak
pendapat yang khusus untuk itu, karena dalam pemba’iatan itu terkandung
keinginan langgengnya kekafiran, sedang siapa yang menginginkan hal itu maka ia
kafir. Lihat (Al Furuq karya Al Qarafiy 4/118).
G. Bahwa
aparatur militer yang mempertahankan sistem-sistem kafir ini adalah orang-orang
kafir dengan kufur akbar , karena mereka itu berperang di jalan thoghut , dan
Allah Ta’ala berfirman:
… Dan
orang-orang yang kafir adalah mereka berperang di jalan thoghut… “. (An Nisa’:
76).
Sedangkan
thoghut yang mana mereka berperang di jalannya adalah thoghut hukum yang
berbentuk UUD, undang-undang buatan lainnya dan para penguasa yang
menerapkannya. Allah Ta’ala berfirman:
… Mereka hendak
berhakim kepada thogut …”. (An Nisa’: 60).
Maka setiap yang
dijadikan rujukan hukum selain Allah adalah thoghut.
Masuk dalam
status hukum (kafir) ini setiap orang yang membela sistem-sistem kafir ini
dengan bentuk perang melindunginya seperti aparat militer (polisi dan tentara),
atau orang yang membelanya dengan perkatan seperti sebagian wartawan dan
orang-orang (yang bekerja dalam bidang, ed.) pemberitaan dan para syaikh
(ulama’ suu’).
Oleh sebab itu
maka haram ikut mengabdi pada dinas ketentaraan negara-negara kafir ini. Akan
datang isyarat pada hukum masalah ini di akhir mabhats ini Insya Allah dalam
koreksi kami terhadap kitab “Ar Risalah Al Limaniyyah Fil Muwaalah”.
H. Bahwa tidak
boleh orang muslim taat kepada pemerintah negara-negara (kafir,ed) ini, dan ia
tidak harus komitmen dengan perundang-undangannya, bahkan ia itu bebas leluasa
untuk menyelisihinya kapan saja dia berkehendak
dengan dua
syarat:
· Dia tidak
melakukan apa yang tidak boleh ia lakukan secara syari’at.
· Dan tidak
menyakiti atau menzhalimi orang muslim.
I. Bahwa negeri
yang dihukumi dengan undang-undang kafir adalah dar kufr (negeri kafir). Bila
dahulunya ia itu dihukumi dengan syari’at terus muncul di atasnya undang-undang
kaum kafir, sedang ia masih dihuni oleh kaum muslimin, maka ia adalah dar kufr
thori (negeri kafir yang baru), dan akan datang pengisyaratan kepada
status-status negeri di akhir mabhats ini Insya Allah.
Inilah, dan saya
tidak bertujuan melakukan rincian di sini dalam masalah ini, namun saya ingin
menjelaskan pentingnya mengetahui hukum-hukum Al Iman dan Al Kufr bagi setiap
muslim, dan di sini saya telah menyebutkan apa yang berkaitan di antaranya
dengan siyasah syar’iyyah .
Kemudian kami
lanjutkan pembicaran tentang
hukum-hukum
duniawiy yang di bangun di atas materi Al Iman dan Al Kufr.
1. Dari
hukum-hukum perwalian : adalah gugurnya perwalian orang kafir atas orang muslim
dalam banyak bentuk:
•Orang kafir
tidak bisa menjadi pengurus atau pemimpin atau qadli bagi kaum muslimin.
•Shalatnya batal
sehingga tidak bisa menjadi imam shalat, dan orang yang shalat di belakangnya
padahal dia mengetahui keadaannya maka shalatnya adalah batal.
•Orang kafir
tidak bisa menjadi wali bagi muslimah dalam pernikahan. •Tidak menjadi mahram bagi (si muslimah itu), meskipun dia adalah kerabat
yang mahram selama-lamanya.
•Orang kafir
tidak bisa menangani harta orang muslim, sehingga ia tidak bisa menjadi
pemegang wasiat atasnya.
•Orang kafir
tidak boleh diberikan kesempatan untuk memungut laqith (anak hilang) di Darul
Islam.
Dan
bentuk-bentuk perwalian lainnya yang beraneka ragam …
2. Dari
hukum-hukum pernikahan: Sesungguhnya orang kafir di antaranya orang murtad
seperti orang yang meninggakan shalat dan orang yang mencela agama:
•Haram
menikahkannya dengan muslimah.
•Tidak boleh
menjadi wali muslimah dalam pernikahan.
Bila si
laki-laki menikah sedang dia muslim, kemudian dia murtad maka nikahnya rusak
dan bila ia terus dalam menggauli istrinya maka ini (dihukumi,ed.) zina.
Jika engkau
terapkan ini terhadap realita, maka engkau mendapatkan bahwa banyak dari
pernikahan-pernikahan yang ada adalah batil dan rusak lagi tidak memiliki
pengaruh konsekuensi hukum di atasnya karena kemurtadan si suami atau si istri
sebelum atau sesudah nikah, jadi
masalahnya
adalah sangat berbahaya.
3. Dari
hukum-hukum warisan.
Perbedan agama
adalah penghalang dari saling mewarisi, namun Ibnu Taimiyyah dan diikuti oleh
Ibnul Qoyyim telah menyelisihi dalam hal ini, di mana mereka membolehkan
pewarisan orang muslim dari kerabatnya yang kafir, sebagaimana yang disebutkan
oleh Ibnul Qoyyim dan beliau telah panjang lebar dalam membela pendapat ini
dalam kitabnya (Ahkam Ahlidz Dzimmah 2/462 dst terbitan Darul ‘Ilmi Limalayin
1983 M). Pendapat mereka berdua ini adalah keliru lagi tertolak karena
menyelisihi nash-nash yang shahih lagi tegas yang selamat dari (nash) yang
menentang, dan keduanya telah berhujjah dengan ucapan-ucapan para sahabat
sedang ucapan seseorang tidak dianggap di sisi ucapan Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam.
4. Dari hukum-hukum
‘Ishmah (Keterjagaan):
Sesungguhnya
‘Ishmah darah dan harta tidak terjadi kecuali dengan iman atau aman . Adapun
iman maka yang di maksud dengannya adalah
Islam Hukmiy
Zhahir . Dan adapun aman maka ia ada dua macam:
•Amaan
(keamanan) yang sementara, dan ia bagi orang yang meminta jaminan keamanan yang
diberi izin untuk masuk ke Darul Islam bukan untuk menetap terus di sana.
•Dan amaan
selamanya, dan ia adalah bagi
dzimmiy yang
menetap selamanya di Darul Islam dengan syarat dia komitmen dengan
syarat-syarat akad dzimmah.
Jaminan keamanan
ini dengan kedua macamnya
tidaklah
berlaku, kecuali bagi kafir asli , adapun orang murtad maka tidak ada amaan
baginya, sedangkan orang yang tidak memiliki jaminan keamanan, baik ia itu
kafir asli atau orang murtad, maka ia adalah halal darah dan hartanya. Bila
engkau membunuh orang yang tidak diketahui agamanya secara sengaja kemudian
ternyata terbukti bahwa dia itu orang kafir yang tidak terjaga darahnya atau
orang murtad, maka tidak ada qishash dan diyat atas dirimu, ini dalam hukum
qodlary (putusan dunia), adapun dosa di akhirat maka di dalamnya ada
perselisihan dengan sebab kesengajaan bersama ketidaktahuan akan keadaannya
sedang ia berkemungkinan Islam. Bila engkau membunuhnya secara tidak sengaja,
maka tidak ada kewajiban Diyat dan Kaffarat atas dirimu.
5. Dari
hukum-hukum jenazah:
•Bahwa orang
kafir atau orang murtad tidak
dimandikan,
tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin .
•Tidak boleh
orang muslim berdiri di atas kuburannya saat menguburkannya atau memintakan
ampunan baginya meskipun boleh mengiringi jenazahnya.
Ini adalah
termasuk kesempurnan bara’ah dari orang-orang kafir dalam masa hidup dan
kematian mereka, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah
kamu sekali kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan
janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasiq.”
(Qs At Taubah:
84)
Dan firman-Nya
Ta’ala :
“ Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah)
bagi orang-orang musyrik. Walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya).” (At Taubah: 113)
6. Hukum-hukum
Al Wala’ dan Al Bara’:
•Wajib muwaalah
(berloyalitas) kepada orang mu’min dengan berdasarkan keimananya.
•Haram muwaalah
kepada orang kafir, wajib bara’ darinya dan wajib orang mu’min membencinya di
jalan Allah serta (wajib) menampakkan di hadapannya permusuhan selagi itu
mungkin bagi dia. Dan tidak boleh membantunya terhadap suatu yang membahayakan
kaum muslimin, tapi wajib mempersulit orang kafir tanpa menzholiminya bila ia
itu kafir mu’ahid atau
dzimmy.
7. Hukum-hukum
hijrah:
Ia dibangun di
atas iman dan kufur, wajib atas orang mu’min untuk hijrah dari tengah
orang-orang kafir bila ia mampu agar ia selamat dengan agamanya dari penindasan
mereka dan agar tidak memperbanyak jumlah mereka serta tidak membantu mereka
terhadap orang muslim.
8. Hukum-hukum
jihad dan apa yang dibangun di atasnya, seperti memperlakukan tawanan,
ghonimah, fa’i, jizyah dan kharaj . Semua ini dibangun di atas iman dan kufur
9. Hukum-hukum
negeri:
Dibangun di atas
iman dan kufur, maka tidak boleh seorang muslim bepergian ke negeri kafir
kecuali
kebutuhan , dan tidak boleh muqim (menetap) disana, kecuali karena darurat,
sebagaimana orang kafir tidak boleh masuk ke Darul Islam, kecuali dengan
perjanjian dan tidak boleh menetap disana, kecuali dengan jizyah. Dan di sana
ada tempat-tempat yang mana orang kafir
tidak boleh
menetap , yaitu Jazirah Arab dan di sana ada tempat-tempat yang tidak boleh
mereka memasukinya yaitu Al Haram.
10. Dari
hukum-hukum peradilan (Qodlo’)
Bahwa pada
dasarnya tidak diterima kesaksian orang kafir atas orang muslim, apalagi sangat
haramlah orang kafir menjadi qodliy yang memberikan vonis terhadap kaum
muslimin sebagaimana yang telah kami utarakan dalam hukum-hukum perwalian.
Bila kita lebih
jauh menelusuri hukum-hukum yang dibangun di atas al iman dan al kufr dalam
berbagai bab fiqh yang beraneka ragam, tentu kita akan menghimpun sesuatu yang
amat banyak, dimana bejana-bejana kaum kafir memiliki banyak hukum, sembelihan
mereka memiliki banyak hukum, serta transaksi bersama orang kafir dalam hal
jual beli dan sewa menyewa memiliki banyak hukum. Ini adalah pintu yang luas,
kita mencukupkan darinya dengan contoh-contoh yang lalu. Dan sesungguhnya Allah
Ta’ala menjadikan makhluq-Nya dua kelompok, Dia
Ta’ala
berfirman:
“ Dialah yang
telah menciptakan kamu, maka diantaramu ada orang-orang kafir dan diantaramu
ada orang yang mu’min ” . (At Taghobun: 2)
Dia Subhanahu Wa
Ta’ala tidak menyamakan antara dua kelompok ini baik di dunia maupun di
akhirat, Dia Ta’ala berfirman:
“ Maka apakah
patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang
berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian):
Bagaimanakah
kamu mengambil keputusan.” (Al Qolam: 35-36)
Firman-Nya
Ta’ala :
“ Maka apakah
orang yang beriman seperti orang yang fasiq (kafir)? Mereka tidaklah sama ” (As
Sajdah: 18)
Firman-Nya
Ta’ala :
“Tidak sama
penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga.” (Al Hasyr: 20)
Atas dasar ini
maka penyetaraan antara dua kelompok adalah bentuk pembangkangan terhadap
ajaran Allah, dan inilah yang diperankan oleh undang-undang dasar jahiliyyah
yang menegaskan dahwa semua warga Negara dihadapan hukum/UU adalah sama, dan
bahwa tidak dibedakan di antara mereka dalam hal hak dan kewajiban dengan sebab
keyakinan (agama) dan hal lainnya. Sedangkan pengguguran perbedaan-perbedaan
ini menghantarkan kerusakan yang besar dalam agama dan dunia kaum muslimin,
serta tidak mengambil untung dari hal itu, kecuali orang-orang kafir. Inilah
realita
kerusakan pada
agama kaum muslimin hari ini, kehancuran pada dunia mereka serta keunggulan
bagi kaum kafir. Padahal sesungguhnya pengamalan hukum-hukum iman dan kufur
menyebabkan pemilahan manusia pada dua kelompok: mu’min dan kafir. Pemilahan
ini adalah
kunci jihad fie
sabilillah dan pendahuluannya, sedangkan pada jihad itu terdapat kehidupan bagi
umat Islam dan kejayaannya sebagaimana di dalamnya terdapat pembungkaman dan
penghinaan orong-orang kafir. Pemilahan manusia ini adalah hal yang dicintai
Allah Ta`ala sebagaimana firman-Nya Ta'ala : “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari
yang baik (mu’min)…” (Ali Imron: 179)
Dia Ta'ala
berfirman:
“Supaya Allah
memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang
buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya
ditumpukkan-Nya, dan dimasukan-Nya kedalam neraka Jahannam. Mereka itulah
orang-orang yang merugi .” (Al Anfal:
37)
Begitu juga
sesungguhnya cara pemilahan ini, yaitu mengamalkan hukum-hukum iman dan kufur
dan menjadi saksi atas (perbuatan) manusia adalah hal yang dicintai Allah
Ta'ala sebagaimana firman-Nya Ta'ala :
“ Dan demikian
(pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” (Al Baqoroh: 143)
Sedangkan lalai
dari semuanya ini adalah termasuk lalai dari agama Allah dan dari apa yang
dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala , maka bagaimana dengan orang yang
menghalangi kaum muslimin dari berbicara dalam materi al iman dan al kufr,
dengan klaim bahwa keselamatan dari ketergelinciran adalah dalam menjauhinya?
dan bagaimana bila ikut serta dalam penghalang-halangan ini sebagian
orang-orang yang mengaku penebar Dakwah Islamiyyah? dan ini tidak lain adalah
tergolong kebodohan terhadap agama Allah dan termasuk kurangnya iman,
sesungguhnya sebagian orang-orang yang tampil untuk dakwah Islamiyyah dan untuk
memimpin jama’ah-jama’ah Islamiyyah pada hari ini, mereka itu adalah
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Manusia
menjadikan para pemimpin yang bodoh, terus mereka itu ditanya, maka mereka
memberikan fatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan” (Muttafaq
’Alaih)
Mana mungkin
bisa membela agama Allah atau berdakwah kepadanya orang yang tidak bisa
membedakan orang mu’min dengan orang kafir atau orang yang menghalangi dari hal
itu.
Sesungguhnya
pemilahan antara orang mu’min dengan orang kafir dan berinteraksi bersama
masing-masing dari keduanya sesuai dengan apa yang di tentukan oleh syari’at tidak
hanya berpengaruh pada nasib individu-individu, akan tetapi sesunguhnya
pengaruhnya pada nasib bangsa-bangsa dan negara adalah lebih jauh berbahaya.
Coba apa yang menghalangi antara kaum muslimin dengan penegakan Syari’at Islam
di negeri-negeri mereka? Selain para penguasa kafir yang mana kaki tangan
mereka dari kalangan para syaikh yang sesat menyebut mereka sebagai penguasa
muslim, dan mereka dikawal oleh aparat tentara kafir yang menduga diri mereka
dan para penguasa mereka sebagai muslimin . Sedangkan tidak ada yang
menghantarkan kepada realita ini selain bertumpuknya pembodohan yang disengaja
dan penyesatan yang terprogram semenjak puluhan tahun, yang mana hal itu
menyebabkan berpalingnya mayoritas kaum muslimin dari berpikir dalam hal ini
-yaitu masalah iman dan kufur dan pemilahan orang mu’min dari kafir-
bahkan itu
menghantarkan mereka kepada Jahl Murokkab (kebodohan yang berlapis) akan hal
ini, yaitu keyakinan mereka di dalamnya menyelisihi akan hakikat sebenarnya,
maka akhirnya mereka memandang penguasa yang kafir itu sebagai orang muslim
yang taat, dan mereka memandang orang muslim yang aktif dakwah lagi mujahid
sebagai bagian Khawarij yang sesat, sehingga dengan hal itu dakwah menjadi
terbatasi dan para da’i pun tetap asing lagi tertindas. Inilah realita di
berbagai negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Oleh sebab itu bukan hal yang
aneh bila para ulama mengatakan bahwa wajib atas setiap muslim untuk mengetahui
keadaan penguasanya karena terbangun di atasnya banyak hukum. (lihat Al
Mustashfa, Abu Hamid Al Ghazaliy; 2/390)
Sesungguhnya
penelantaran yang disengaja akan hal ini -yaitu masalah pemilahan muslim dari
orang kafir- dan pemalingan kaum muslimin darinya adalah yang dimaksudkan
dengannya:
pembodohan kaum
muslimin terhadap musuh-musuh mereka yang sebenarnya dari kalangan pemerintah
kafir di dalam negeri mereka sendiri dan dari kekuatan kafir internasional di
luar negeri mereka , agar kaum
muslimin berpaling dari menjihadi musuh-musuh mereka di dalam dan di luar
negeri mereka, sedangkan tidak ada kehidupan bagi umat Islam dan tidak ada
‘Izzah (kemulian) bagi mereka, kecuali dengan jihad. Bila jihad terlantar, maka
rusaklah agama kaum muslimin, dan hancurlah dunia mereka dan berkuasalah orang-orang
kafir di muka bumi, leluasa melakukan kerusakan dan inilah realita hari ini
semenjak dahulu. Rosulullah saw bersabda: “Bila kalian jual beli dengan ‘inah
(riba) dan kalian mengikuti ekor sapi, dan kalian rela dengan pertanian serta
kalian meninggalkan jihad, maka Allah kuasakan terhadap kalian kehinaan yang
tidak Dia mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (H.R. Ahmad
dan Abu Dawud dengan isnad yang hasan dari Ibnu Umar)
‘Inah adalah
macam dari riba, dan mengikuti ekor sapi dan ridla dengan pertanian keduanya
menunjukkan terhadap kecenderungan kepada dunia yang termasuk konsekuensinya
adalah meninggalkan jihad, sedangkan ini semuanya menghantarkan kepada kehinaan
yang tidak mungkin diangkat, kecuali dengan meninggalkan sebab-sebabnya.
Semua itu
(terrangkum,ed) dalam penjelasan pentingnya materi al iman dan al kufru, dan
dalam penjelasan pentingnya materi ini Ibnu Taimiyyah
rahimahullah
berkata: “Bila hal itu sudah jelas, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
(masalah-masalah takfier dan tafsiq) adalah masalah-masalah (nama-nama dan
hukum-hukum) yang berkaitan dengannya janji dan ancaman di negeri akhirat dan
berkaitan dengannya loyalitas, permusuhan, pembunuhan, keterjagaan (harta dan
darah) serta hal lainnya di negeri dunia ini karena sesungguhnya Allah
Subhanahu Wa Ta’ala telah mewajibkan surga bagi mu’min dan mengharamkan surga
atas kafirin. Sedangkan ini adalah termasuk hukum-hukum yang menyeluruh di
setiap waktu dan tempat” (Majmu Al Fatawa; 12/468).
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata juga:
“Sesungguhnya
keliru dalam nama iman tidaklah seperti kekeliruan dalam nama yang baru dan
tidak pula seperti kekeliruan pada nama-nama lainnya, karena hukum-hukum dunia
dan akhirat dikaitkan dengan nama Iman, Islam, Kufur dan Nifaq” (Majmu Al
Fatawa, 7/395)
Dan berkata
juga: “Dan tidak ada dalam ucapan suatu namapun yang digantungkan padanya
kebahagiaan, kebinasaan, pujian, celaan, pahala dan siksa yang lebih besar dari
nama iman dan kufur, oleh sebab itu inti ini dinamakan masailul asma wal ahkam
” (Majmu Al Fatawa, 13/58)
Ibnu Rajab Al
Hanbaliy rahimahullah berkata: “Dan masalah-masalah ini -yaitu masalah-masalah
Islam, Iman, Kufur, dan Nifaq- adalah masalah-masalah yang sangat agung, karena
Allah ‘Azza Wa Jalla telah mengaitkan pada nama-nama ini kebahagiaan,
kesengsaraan serta keberhakan akan surga dan neraka, sedangkan perselisihan
pada penamaan-penamaannya adalah perselisihan paling awal yang terjadi di
tengah umat” (Jamiul Ulum Wal Hikam: 27)
Ibnul Qoyyim
rahimahullah berkata saat membicarakan datangnya syari’at dengan ajaran
penutupan pintu-pintu kejahatan dan kerusakan, terus beliau menyebutkan di
antara contoh-contoh hal itu: “Sesungguhnya syarat-syarat yang di tetapkan
terhadap ahlu dzimmah mengandung pemilahan mereka dari kaum muslimin dalam hal
pakaian, rambut, kendaraan dan yang lainnya supaya penyerupaan mereka itu tidak
menghantarkan orang kafir diperlakukan seperti orang muslim, maka pintu ini
ditutup dengan cara mengharuskan mereka tampil beda dari orang muslim” (I’lamul
Muwaqqi’in, 3/154)
Maka kesimpulan
masalah ini adalah:
Bahwa buah hasil
materi ini -yaitu perbincangan al iman dan al kufru- adalah membedakan orang
mu’min dari orang kafir agar memperlakukan masing-masing dari keduanya dengan
semestinya dalam ajaran Allah Ta’ala , sedangkan ini adalah wajib atas setiap
muslim . Kemudian sesungguhnya termasuk mashlahat (bagi,ed.) orang kafir atau
orang murtad adalah dia mengetahui bahwa ia itu kafir sehingga ia segera taubat
atau dengan
memperbaharui
keIslamannya , maka ini adalah baik bagi dia di dunia dan di akhirat.
Adapun kita
menyembunyikan dari dia statusnya dan kita tidak mengabarkan kepada dia akan
kekafirannya atau kemurtadannya dengan dalih bahwa perbincangan dalam masalah
ini adalah tidak aman akibatnya, maka ini di samping bentuk penyembunyian al
haq dan penghancuran terhadap pilar-pilar dien ini adalah juga merupakan
kezhaliman terhadap orang kafir ini dan penipuan terhadapnya dengan
menghalanginya dari kesempatan taubat, bila dia telah tahu kekafiran pada
dirinya, karena banyak orang kafir itu mereka tergolong:
“…orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik baiknya” (Al Kahfi: 104)
Telah lalu
dalam tingkatan pertama yang khusus dengan ilmu orang awam, saya menyebutkan
bahwa saya tidak menuntut orang awam untuk berfatwa dalam hukum-hukum al iman
dan al kufr, bahkan hal itu tidak boleh baginya, akan tetapi materi ini wajib
hadir dalam pikirannya pada interaksi yang beraneka ragam agar dia meminta
fatwa di dalamnya saat membutuhkan , sebagai bentuk pengamalan kewajiban
berilmu sebelum berbicara dan berbuat.
Adapun
pencari ilmu dalam tingkat ke tiga, yaitu tingkat sepesialis dan pencapaian
ijtihad, maka seyogyanya perhatian dia terhadap materi ini adalah lebih tinggi
dari itu, dengan cara ia mengkajinya dengan pengkajian yang cukup agar ia
memiliki kelayakan untuk berfatwa di dalamnya.
Diambil dari
Materi Al
Iman & Al Kufur, Kitab Al Jami’ Juz Ke-8 Lanjutan Bab Ke-7
Syaikh Abdul
Qadir Ibnu Abdul Aziz Fakallaahu Asrah
Diterjemahkan
oleh: Ust. Abu Sulaiaman Aman Abdurrahman Fakallaahu Asrah
Be the first to reply!
Post a Comment