Keagungan Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya
dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (durhaka), maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ
أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya
aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan
memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan
begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140,
Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang
menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ
فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina)
dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki
sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau
suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan
seorang wanita setelah hak Allah dan Rasul-Nya daripada hak suami" (Majmu'
Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka
setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi
kewajiban istri:
1. Mentaati perintah
suami.
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak
membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ
النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ
وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling
menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak
menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR.
An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di
neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan.
Selesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ
لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ
مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah
engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap)
engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi.
Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku
tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di
mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga
dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri
diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain,
meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah
dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati (istri wajib menolak).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak
ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang
ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131.
Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
2. Berdiam di rumah
dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ
الْأُولَى
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali
dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya
ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin
suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya
berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
3. Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ
تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika
seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya,
maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan
Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ
إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا
عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil
istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan
yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya
ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil
haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid
bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istrinya (sebatas bercumbu)”,
karena haram hukunya bersenggama saat istri sedang haidh (Syarh Shahih Muslim,
10: 7).
Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau
kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
4. Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan
izin suami.
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji
Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ
بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ
أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah
kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka
tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak
permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ
نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak
halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada
kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah
suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah
dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan
Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu
Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak
boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya
sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9:
476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Muslim)
Hadits di atas dipahami jika suami tidak ridho ketika ada
orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya
membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 3: 193)
5. Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan
izin suami.
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak
diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99).
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ
“Tidaklah
halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no.
1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak
boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang
ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An
Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai
dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin
bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits
di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak
ditentukan waktunya.
Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits
di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang
dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain
puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar
Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan
izin suami. ... Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan
tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang
wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya
tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman.
Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah
menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika
puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya,
memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa
enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika
memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua
macam:
* Puasa Sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu
(seperti puasa senin kamis),
* Puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk
melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih
longgar sampai Ramadhan berikutnya.
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika
suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika
ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami
sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa
(Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’
(hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami
sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam
hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak
suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah.
Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib
tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul
Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya
berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya.
Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau
melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Jalan menuju surga bagi wanita adalah amat mudah. Cukup
taat dan bakti pada suami, itu sudah memudahkan jalannya.
Nabi shallallahu 'alaihiwasallam bersabda :
“إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ
فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ”
“Jika
seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan,
menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya:
“Masuklah
ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.
(HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu).
6. Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ
بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah
seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin
suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670)
7. Berkhidmat pada
suami dan anak-anaknya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam
kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan
shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam
radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan
minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk
membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara
jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” ( )
Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no.
5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat
padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata
Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah
wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di
tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi
seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga
Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR.
Muslim no. 715)
8. Menjaga
kehormatan, anak dan harta suami.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ
اللَّهُ
“Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34).
Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692),
“Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga
kemaluan dan harta suami. Di samping itu, ia wajib menjaga hak Allah dan hak
selain itu.”
9. Bersyukur dengan
pemberian suami.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada
suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si
istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan
kepada beliau ketika shalat,
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ
وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ:
بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ
اْلإِحْسَانَ، لَوْ أََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ
شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan
aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti
hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.”
Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya
kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab,
“(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu
waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan
di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat
kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907).
Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma karena melihat
kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya yang diberi.
Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau sehari.
10. Berdandan cantik
dan berhias diri di hadapan suami.
Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti
tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika
keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di
dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan
sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ
النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ
وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling
menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak
menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR.
An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251)
11. Tidak
mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya
dari hartanya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ
بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al
Baqarah: 264).
12. Ridho dengan
yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami
lebih dari kemampuannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)
13. Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ
زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا
هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah
seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan
bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu.
Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu
menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242)
14. Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami.
15. Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk
ditalak kecuali jika ada alasan yang benar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ
مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita
mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan
oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199,
Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055)
16. Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10
hari.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234).
Wallahu Ta'ala A'lam bish-shawab