Kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan yang melekat dalam diri setiap manusia, apapun latar belakang sosial, budaya, politik, jenis kelamin, agama, keyakinan, warna kulit, dan kebangsaannya.
Karena itu, ia tidak dapat dan tidak boleh dirampas oleh siapapun. Ia adalah anugerah Allah SWT kepada manusia. Segala bentuk kebudayaan, peradaban, dan setiap sistem kehidupan yang menghalangi, membatasi, dan memperbudak manusia harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika berada di hadapan Allah SWT, Penciptanya. Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Allah.
Nabi Muhammad SAW dan para nabi yang lain adalah para utusan Allah. Mereka ditugaskan membawa misi tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala macam bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain. Al-Qur'an surat an-Nisa [4] ayat 75 menegaskan, "Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu."
Diinspirasi oleh tindakan Nabi SAW ini, Umar bin Khathab, khalifah kedua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain. Ketika Abdullah, anak 'Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar segera memanggil anak sang gubernur itu. Kepadanya Umar mengatakan, "Sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka." Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu.
Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah. Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang tak beruntung tidak memperoleh haknya. Sebaliknya orang dengan status sosial yang beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terakhir ini pernah disampaikan Nabi SAW, "Andaikan Fatimah anakku mencuri, aku pasti akan menghukumnya."
Tetapi kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin. Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu, dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan.
Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman, dan penghormatan atas martabatnya. Jadi, logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain. Kapan masyarakat bangsa Indonesia mendapat kesetaraan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara setara dengan bangsa lain di dunia.
By : DR Abdul Mannan