Monday 30 January 2017

Hakikat Kemerdekaan Manusia


Kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan yang melekat dalam diri setiap manusia, apapun latar belakang sosial, budaya, politik, jenis kelamin, agama, keyakinan, warna kulit, dan kebangsaannya.
Karena itu, ia tidak dapat dan tidak boleh dirampas oleh siapapun. Ia adalah anugerah Allah SWT kepada manusia. Segala bentuk kebudayaan, peradaban, dan setiap sistem kehidupan yang menghalangi, membatasi, dan memperbudak manusia harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika berada di hadapan Allah SWT, Penciptanya. Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Allah.
Nabi Muhammad SAW dan para nabi yang lain adalah para utusan Allah. Mereka ditugaskan membawa misi tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala macam bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain. Al-Qur'an surat an-Nisa [4] ayat 75 menegaskan, "Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu."
Diinspirasi oleh tindakan Nabi SAW ini, Umar bin Khathab, khalifah kedua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain. Ketika Abdullah, anak 'Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar segera memanggil anak sang gubernur itu. Kepadanya Umar mengatakan, "Sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka." Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu.
Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan  bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah. Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang tak beruntung tidak memperoleh haknya. Sebaliknya orang dengan status sosial yang beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terakhir ini pernah disampaikan Nabi SAW, "Andaikan Fatimah anakku mencuri, aku pasti akan menghukumnya."
Tetapi kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin. Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu, dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan.
Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman, dan penghormatan atas martabatnya. Jadi, logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain. Kapan masyarakat bangsa Indonesia mendapat kesetaraan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara setara dengan bangsa lain di dunia.

By : DR Abdul Mannan

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Sunday 29 January 2017

Pemuda Unggul


Pilar Kejayaan Islam

Pada awalnya penduduk negeri Efesus (Anatolia, Turki sekarang) beriman kepada Allah SWT. Tapi keadaan berubah setelah wilayah itu dikuasai Raja Diqyanus dari Romawi. Sebagian besar rakyat patuh kepada raja dengan menyembah selain Allah. Tersebarlah kemusyrikan dan kekufuran. Dalam kondisi masyarakat yang rusak itu terdapat sekelompok pemuda yang kokoh imannya. Mereka dikenal dengan Ashabul-Kahfi. Para pemuda itu mengingkari perbuatan yang batil dan menjauhkan diri dari kaumnya ketika melakukan upacara persembahan. Satu persatu mereka pergi bersembunyi di bawah sebatang pohon yang rindang di luar kota. Di sanalah mereka berkumpul tanpa lebih dahulu berjanji, bahkan satu dengan lainnya tidak saling kenal. Mereka masing-masing kemudian membuka isi hati dan berkenalan. Atas dasar kesatuan aqidah dan persamaan nasib, bersatulah mereka dalam wadah "persaudaraan". Didirikanlah tempat ibadah bagi mereka sebagai kelompok yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa.
Tidak lama kemudian tempat ibadah itu diketahui khalayak. Sampailah beritanya ke telinga Raja Diqyanus. Para pemuda lantas dipanggil dan ditanya tentang kepercayaannya. Tanpa ragu dan dengan hati yang diteguhkan oleh Allah SWT mereka berdiri tegak seraya berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sesungguhnya kalau kami berbuat selain demikian, niscaya kami telah berbuat dan mengucapkan sesuatu yang jauh dari kebenaran."
Dikisahkan, kemudia raja marah, mengancam, dan memerintahkan mereka melepaskan pakaian. Para pemuda itu diberi kesempatan berpikir agar kembali kepada kepercayaan raja dan kaumnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Terjadilah percakapan di antara mereka yang diilhamkan oleh Allah SWT :
"Jika kamu telah meninggalkan kepercayaan kaummu dan meninggalkan cara-cara ibadah mereka dengan hati dan jiwamu, maka tinggalkanlah dan jauhilah mereka dengan badan dan tubuhmu, serta carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, melindungimu dari gangguan raja dan kaumnya serta akan menyediakan sesuatu yang berguna, berakibat baik bagimu dalam urusan kamu ini."
Para pemuda kemudian meninggalkan kaumnya, pergi berlindung dalam gua di sebuah bukit. Atas kehendak Allah SWT mereka tidur selama tiga ratus sembilan tahun. Itu tidak diketahui oleh kaumnya maupun orang lain, dan tidak pula mereka mengetahui dan mendengar apa yang terjadi di luar gua. (Tafsir Ibnu Katsir Juzz 5, hal 122-123)

KOKOH TAUHID
Ashabul-Kahfi adalah kelompok pemuda yang memiliki iman yang kokoh. Iman kokoh itu memberi spirit untuk menolak segala bentuk kemusyrikan dan kekufuran yang merebak di tengah masyarakat. Bisa saja mereka memperoleh dan kenyamanan apabila mengikuti arus kemusyrikan dan kekufuran. Namun semua itu ditolak. Mereka tetap teguh dalam keimanan, meski harus menerima perlakuan yang tak nyaman dari penguasa. Mereka rela meninggalkan kemapanan hidup, lari menuju tempat yang aman untuk mentauhidkan Allah SWT.
Seperti itulah seharusnya sikap insan beriman. Tak sepatutnya memberi toleransi atau kompromi, bahkan "terpaksa menikmati" kebatilan. Mesti tegas menolak segala bentuk kebatilan dan kekufuran, sehingga hal itu tak berkembang dan menyebar hingga membudaya di tengah masyarakat. Sungguh memprihatinkan jika ada orang yang mengaku beriman, tetapi berkompromi bahkan memberi ruang kepada  kebatilan dan kekufuran. Keimanan yang hakiki tak akan merestui apapun bentuk kebatilan dan kekufuran. Pasti akan menolak dan melakukan perlawanan. Itu Sunnatullah. Keimanan pasti akan menggantikan kekufuran. Kebenaran dan keadilan pasti akan menggeser kebatilan dan kezhaliman.
Firman Allah SWT, "Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (al-Isra' [17] : 81)

PERMATA UMAT
Di tengah zaman modern yang dijejali banyak kerusakan seperti saat ini, umat begitu merindu kehadiran para pemuda seperti Ashabul-Kahfi. Mereka tak tergoyahkan oleh godaan dan tantangan. Para pemuda yang senantiasa taat di tengah zaman yang sarat maksiat.
Umat ini merindu hadirnya pemuda yang berakhlak dan beradab di tengah kebejatan moral yang merajarela. Para pemuda yang bersemangat menebar kebaikan di saat kebanyakan orang enggan melakukannya. Pemuda seperti itulah yang akan menjadi pilar kejayaan umat di masa mendatang. Mereka adalah permata. Allah SWT berfirman, "Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk." (al-Kahfi [18] : 18)
Realitasnya saat ini, hati kita teriris-iris. Bagaimana tidak, para pemuda yang kita harapkan menjadi agent of change (agen perubahan) justru banyak yang terjebak pada perilaku amoral. Tak sedikit yang menghabiskan masa mudanya dengan berfoya-foya. Apakah yang seperti ini yang diharapkan?
"Pemuda Muslim adalah tulang punggung masa depan umat ini. Mereka juga harus waspada bahwa musuh-musuh Islam sangat paham tentang peran penting yang diembannya."

NASIHAT UNTUK PEMUDA
Setiap pemuda Muslim mesti menyadari  bahwa dalam dirinya ada potensi yang dahsyat. Amat sayang bila tak digunakan di jalan kebaikan. Sungguh merugi bila masa muda, di saat fisik masih prima, tak dipergunakan untuk perkara yang bermanfaat untuk masa depan di dunia dan akhirat.
Pemuda Muslim adalah tulang punggung masa depan umat ini. Mereka juga harus waspada bahwa musuh-musuh Islam sangat paham tentang peran penting yang diembannya. Musuh pun berusaha menghancurkan iman, akhlaq, dan moralnya dengan berbagai cara, seperti lewat budaya, hiburan, serangan pemikiran, makanan, dan lain-lainya. Sikap waspada akan menghindarkan pemuda dari perangkap musuh.
Menurut Syakh Abdul Aziz bin Baz, para pemuda pada setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk unsur pergerakan dan dinamisasi. Dia mempunyai kekuatan yang produktif, kontribusi yang terus menerus. Dan suatu umat tidak runtuh -seringkali- kecuali ada di pundak pemuda yang punya kepedulian dan semangat menggelora. Musuh-musuh Islam telah mengetahui hakikat ini, maka mereka secepat mungkin membuat rintangan di jalannya atau merubah cara pandang (hidupnya). Baik memisahkan dari agama atau menjauhkan dari kedekatan mereka di antara ulama. (Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 2/365)
Jangan sampai terjebak pada perilaku urakan dan foya-foya hanya demi menunjukkan eksistensi diri. Tunjukkan lah melalui hal-hal yang positif, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja, beribadah, dan menuntut ilmu.
Imam Syafi'i menuturkan, "Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Jika kedua hal itu tiada padanya, maka tak bisa disebut pemuda."

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Saturday 28 January 2017

Khalifah Harun al-Rasyid


Umara Mengikuti Ulama

Dalam Islam kedudukan seseorang di mata Allah SWT bukanlah karena jabatan, tapi karena ketaqwaan. Demikianlah yang dipahami oleh Harun al-Rasyid, seorang khalifah Islam yang disegani. Harun dikenal sebagai khalifah pemberani dan tegas. Salah satunya ia begitu gagah perkasa menghadapi Nakfur (atau Nicheporus), penguasa Romawi. Pemimpin kaum kafir itu berhasil ditundukkan. Di balik ketegasannya, ternyata Harun juga seorang yang lembut serta amat taat dan menghormati ulama. Posisinya sebagai khalifah tidak membuatnya tinggi hati.
Suatu ketika Harun membawa dua anaknya untuk mengaji ke Madinah. Di kota ini ada majelis yang diasuh ulama legendaris, Imam Malik. Beliau mengajarkan kitab al-Muwatha'. Tiba di Madinah, seorang wazir (staf) sang khalifah yang beranama al-Barmaki menghadapa Imam Malik. Sebagai khalifah, Harun meminta agar sang imam datang kepadanya untuk membacakan kitab karyanya itu. Kata Imam Malik, "Sampaikanlah salamku, dan katakanlah kepadanya, 'Ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi. Ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi."
Al-Barmaki pun melaporkan hal itu. Ia juga mengajukan usul agar Harun memaksa Imam Malik untuk menghadap, demi kehormatannya sebagai seorang khalifah. Harun tidak bersegera memutuskan sikap. Seorang penasihat kemudian memberi saran, "Wahai Amir al-Mukminin, Allah SWT telah menjadikan Baginda dalam posisi seperti ini kerena ilmu Baginda. Janganlah Baginda menjadi orang yang pertama kali menghinakan ilmu, sehingga baginda pun akan dihinakan oleh Allah. Saya melihat ada orang yang kedudukan dan rumahnya tidak seperti Baginda, tetapi dia memuliakan dan meninggikan ilmu ini. Mestinya Baginda lebih wajib memuliakan dan meninggikan ilmu saudara sepupu Baginda." Mendengar nasihat tersebut, menangislah Harun al-Rasyid. (as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, juz II/692)
Khalifah agung itu akhirnya mendatangi majelis ilmu al-Muwatha'. Barangkali karena lelah, Harun dudul sambil bersandar. Seketika Imam Malik menegurnya dan melarangnya. Sikap seperti itu di majelis ilmu dianggap tidak beradab. Harun taat dan patuh. Tidak marah atau tersinggung karena harga dirinya jatuh. Ia terus mengikuti majelis ilmu dengan tekun.
Suatu saat Harun mengutarakan niat untuk menghancurkan Ka'bah yang dibangun oleh al-Hujjaj bin Yusuf, salah seorang wali di zaman Khilafah Ummayyah. Harun ingin mengembalikannya seperti bangunan yang dibuat oleh Abdullah bin Zubair. Mengetahui hal itu, Imam Malik menasihati, "Hanya kepada  Allah SWT saya sampaikan urusan Anda. Wahai Amirul Mukminin, janganlah anda menjadikan Baitullah ini sebagai mainan para raja! Tak seorang pun dari mereka, kecuali ingin menghancurkan bangunan Baitullah, sehingga hilanglah wibawa (penghormatan terhadap Baitullah) dari benak manusia." (Ruh al-Bayan, juz 1/229)
Tanpa berpikir panjang, Harun al-Rasyid langsung menuruti nasihat itu.
Demikianlah semestinya sikap umara kepada ulama, taat dan hormat. Tidak cuek, meremehkan, menghindar, atau bahkan menghina. Semoga negeri ini terbebas dari umara yang menghina ulama. Amin.

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Friday 27 January 2017

Orang Yang Bangkrut



"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri." (al-Isra' [17] :7)


Dalam sebuah Hadits dari Abu Hurairah SA, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian orang yang bangkrut itu?" Salah seorang sahabat menjawab, "Bagi kami, orang yang bangkrut adalah mereka yang kehilangan harta dan seluruh miliknya." 
Rasulullah SAW menjelaskan, "Bukan. Orang yang bangkrut adalah mereka yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, zakat, dan hajinya. Akan tetapi ketika pahala-pahala itu ditimbang, datanglah orang-orang yang mengadu, 'Ya Allah, dahulu ia pernah menuduhku berbuat sesuatu yang tidak pernah aku perbuat.' Atas pengaduan itu Allah lalu memerintahkan agar orang tersebut membayar dengan sebagian pahalanya.
"Kemudian datanglah orang lain yang mengadu, 'Ya Allah, ia pernah mengambil hakku dengan sewenang-wenang.' Lalu Allah memerintahkan lagi membayar dengan pahalanya kepada orang yang mengadu itu"
"Setelah itu datang lagi orang lain dengan aduan yang berbeda, sampai akhirnya seluruh shalat, puasa, dan hajinya habis dipakai untuk membayar orang-orang yang haknya pernah dirampas, yang pernah disakiti hatinya, ataupun yang pernah dituduh tanpa bukti yang benar."
"Kini pahalanya tidak lagi tersisa, sebab semua telah habis dipakai untuk membayar atas perbuatan zhalim yang dilakukannya semasa hidup di dunia. Sementara itu, masih terdapat antrian orang yang mengadu di belakangnya. Untuk menebusnya, maka Allah memutuskan agar dosa orang mengadu itu dipindahkan kepadanya sebagai utusan atas kesalahan yang dilakukannya semasa hidup di dunia."

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari penjelasan Nabi SAW tersebut, di antaranya :
Pertama, para ahli ibadah hendaknya tidak berpuas diri dengan tabungan amalnya. Bisa jadi "ATM"-nya nanti justru terkuras habis untuk membayar utang akibat perilaku kezhaliman dan menyakiti hati orang lain.
Kedua, jika orang yang membawa bekal pahala shalat, puasa, zakat dan hajinya bisa jatuh bangkrut, apalagi orang yang datang tanpa membawa bekal pahala sama sekali. Tidak saja terancam bangkrut, tapi celaka dan terlaknat.
Ketiga, Allah Yang Maha Adil akan memperhitungkan segala amal perbuatan  manusia, sekecil apapun timbangannya.
Keempat,  setiap kezhaliman orang lain pada diri kita akan menjadi tabungan uang kelak bisa ditagih di Hari Kiamat. Jika ada orang yang memfitnah, bersabarlah, karena itu akan menjadi tabungan di akhirat. Jika ada yang menyakiti hati, bersabarlah, sebab hal tersebut akan menjadi tambahan timbangan amal kebaikan kita.
Kelima, jika kita ingin melangkah ke akhirat dengan cukup ringan tanpa banyak memikul beban, maka titipkanlah bekal tersebut kepada orang lain.
Ali bin Abi Thalib RA pernah ditanya, bagaimana cara menitipkan bekal kepada orang lain? Beliau menjawab, "Ketahuilah bahwa tidak ada utang yang tidak dibayar. Bila seseorang menyakiti hatimu, maka ia harus membayarnya nanti dengan pahalanya. Begitu juga ketika seseorang memfitnahmu, maka ia harus membayar kejahatannya dengan pahalanya. Itulah cara praktis menitipkan bekal akhirat kepada orang lain."

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Teladan pada Abu Hurairah



Mengecoh Penduduk Madinah

Sejak Rasulullah SAW wafat, sebagian umat Islam yang ada di kota Madinah mulai menurun keimanannya. Semangat untuk beribadah mulai kendur. Salah satu sahabat Nabi, Abu Hurairah RA, melihat sebagian penduduk Madinah lebih mengutamakan aktivitas dunia di banding mendekatkan diri kepada Allah SWT. Suatu hari ketika mentari beranjak tinggi, Abu Hurairah sengaja memasuki sebuah pasar. Menyaksikan suasana yang hiruk pikuk, ia berpikir bagaimana caranya agar orang-orang tidak terus sibuk dengan bisnisnya. Abu Hurairah kemudian berteriak, "Alangkah bodohnya kalian wahai penduduk Madinah!" "Kebodohan apa yang anda lihat dari diri kami, wahai Abu Hurairah?" sahut salah satu seorang warga dengan lantang. "Ketahuilah, peninggalan Rasulullah SAW telah dibagi-bagikan. Tidakkah kalian berkeinginan pergi untuk mengambil bagian?" seru Abu Hurairah lagi. "Dibagikan di mana wahai Abu Hurairah?" Jawab serentak para pedagang. "Di masjid!" Abu Hurairah membalas singkat.
Penduduk Madinah pun bergegas menuju masjid. Mereka berbondong-bondong mendatangi masjid dengan rasa penasaran, berbagai macam yang dipikirkan. Masing-masing mengira akan mendapatkan sesuatu yang berharga berupa harta benda Rasulullah SAW. Tibalah penduduk Madinah di depan masjid. Tampak di situ Abu Hurairah telah menunggu. Tak terlihat ada tanda-tanda pembagian, warga kemudia protes, "Tidak ada pembagian apa-apa di dalam masjid ini, wahai Abu Hurairah!" "Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang berada di dalam masjid ini?" jawab Abu Hurairah seraya tersenyum. "Kami tidak melihat apa-apa di dalam masjid, melainkan hanya orang-orang yang mengerjakan shalat, mengkaji al-Qur'an, serta mendiskusikan soal halal-haram (majelis ilmu). Hanya itu saja!" sahut penduduk Madinah yang mulai merasa kesal. Dengan suara lantang Abu Hurairah berkata, "Celakalah kalian! Itulah peninggalan Rasulullah SAW."

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Menyambut Masa Depan



“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir.” (QS Ali Imran {3} ; 190)

Bagi ulul albab (orang-orang yang berpikir atau berakal), di balik fenomena alam ada sesuatu yang harus diperhatikan. Di balik yang bisa dillihat, diraba, dan dirasa itu ada yang menciptakan. Di balik alam ada Allah SWT Yang Maha Menentukan.
Keyakinan adanya Allah SWT di balik alam ini merupakan pokok ajaran Islam. Seseorang disebut beriman jika percaya kepada Allah. Sebaliknya, disebut kafir jika mengingkarinya.
Orang yang tidak beriman disebut kafir (ingkar) karena pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar tidak percaya adanya pencipta langit dan bumi. Logika siapapun mesti mempercayainya kecuali orang-orang yang ingkar atau menyembunyikan kebenaran.
Rasulullah Saw memberi penjelasan : "Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Satu bulan lagi Rajab." (Riwayat Muslim)
Jadi, ada empat bulan di antara dua belas bulan yang disebut bulan haram (bulan suci). Kita wajib mengimani.
Mengapa disebut bulan suci? Pada empat bulan ini, sejam zaman jahiliyah telah ditetapkan tentang keharaman berperang dan saling menumpahkan darah. Pada bulan-bulan tersebut ada jeda, waktu istirahat perang, atau gencatan senjata.
Pada bulan tersebut umat manusia juga dianjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan. Pahalanya berlipat ganda. Sebaliknya, yang melakukan kejahatan akan dilipatgandakan dosanya.
Apa keistimewaan bulan Muharram sebagai bulan suci? Yang pertama dan paling utama adalah merupakan awal tahun hijriyah.
Allah SWT dan Rasul-Nya tidak mengajarkan ibadah tertentu dalam penyambutan awal tahun. Tidak ada sholat khusus seperti 'Idul Fitri atau 'Idul Adha. Meskipun demikian, mengambil hikmah dari pergantian tahun hijriyah tidak diharamkan. Bahkan kaum Muslimin bisa melakukan evaluasi diri, apakah di tahun yang telah di laluinya bertambah kebaikannya, sama saja, atau malah terjadi penurunan.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Hasyr {59}; 18)
Evaluasi diri akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara menahan diri atau berpuasa. Itulah sebabnya, dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Muharram.
Rasulullah Saw bersabda, "Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah), yaitu Muharram. Sementara sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam." (Riwayat Muslim)
Semoga tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Aamin....

By : Ustadz Hamim Thohari

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

-Bani Tsaqif- Lawan Jadi Kawan


Awalnya mengusir bahkan melempari Rasulullah hingga berdarah-darah.
Belakangan menjadi Muslim terbaik.


Setelah meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah RA, tekanan kaum kafir Quraisy di Makkah terhadap umat Islam semakin terbuka. Mereka tidak segan-segan menyiksa dan membunuh pengikut Rasulullah SAW. Rasulullah SAW merasa sedih. Muncullah berkeinginan untuk hijrah ke Thaif. Kota ini terletak kurang lebih 65 km di sebelah tenggara kota Makkah. Udaranya sejuk dan tanahnya subur. Ketika itu, Thaif termasuk kota yang ramai selain Makkah. Bahkan jumlah penduduknya paling besar. Mereka adalah Bani Tsaqif, terdiri atas dua suku, yaitu Bani Ahlaf dan Bani Malik.
Bani Ahlaf menguasai bidang diplomasi, militer, dan penyembahan berhala. Dari suku ini juga lahir penyair-penyair besar yang biasa tampil pada festival tahunan Ukaz. Sedangkan Bani Malik menguasai bidang ekonomi dan pertanahan sebagai tuan-tuan tanah. Rasululah SAW berhijrah ke kota ini dengan harapan mendapat sambutan dan dukungan dari para tokoh yang masih ada hubungan kekerabatan dengan beliau. Jika bisa diterima, maka kaum Muslimin akan diajak hijrah ke Thaif.

Rupanya harapan itu meleset. Beberapa tokoh yang ditemui Rasulullah SAW bukannya menyambut baik, malah menolak mentah-mentah. Mereka mengingkari kenabian Muhammad. Menurut mereka, seorang yang diutus menjadi Rasul itu hendaklah seorang yang kaya dan berpengaruh. Tidak cukup menolak, penduduk Thaif bahkan mengusir dan melempari Nabi Muhammad SAW dengan batu hingga tubuh mulia itu berdarah-darah. Rasulullah SAW kemudian meninggalkan wilayah tesebut. Sampai di sebuah pohon, Rasulullah beristirahat sambil membersihkan luka-lukanya. Saat itulah Malaikat Jibril bersama Malaikat penjaga gunung menawarkan diri untuk menumpahkan gunung ke Bani Tsaqif jika Nabi menghendaki. Namun tawaran itu ditolak seraya Rasulullah berdoa semoga anak keturunan Bani Tsaqif mendapat hidayah. (Riwayat Bukhari)

Doa Rasulullah SAW kelak di kemudian hari dikabulkan oleh Allah SWT. Ini dimulai ketika kaum Muslimin berhasil menaklukkan kota Makkah. Penaklukan tersebut benar-benar mengubah konstelasi sosial di Jazirah Arab. Banyak sekali kabilah Arab yang dahulunya memusuhi Rasulullah di Madinah kemudian berubah haluan. Salah satu kabilah yang memilih berafiliasi dengan Madinah adalah Bani Tsaqif. Kabilah Tsaqif mengirimkan beberapa orang utusan di bawah pimpinan Kiananah bin Abdul Yalil ke Madinah guna menyampaikan maksud keislaman mereka. Tidak jauh dari Madinah, mereka bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Mughirah bin Syu'bah, yang juga dari kabilah Tsaqif. Mughirah sangat senang. Ia pun sedikit mengajari mereka ajaran Islam sebelum bertemu dengan Rasulullah nantinya.

Masuk ke Madinah, utusan kabilah Tsaqif langsung menuju ke masjid, kemudian mendirikan tenda di sekitarnya. Rasulullah SAW merasa senang mengetahui maksud kedatangan mereka. Setiap selesai shalat Isya', beliau menemui mereka untuk mengajarkan Islam. Di antara utusan itu adaa yang begitu antusias belajar Islam, yakni Utsman bin Abul Ash. Dia adalah yang paling muda di antara utusan-utusan yang lainnya. Dikisahkan, ia selalu terlambat di majelis Rasulullah SAW. Ketika orang-orang pulang ia baru datang menemui beliau. Apabila ia mendapati Rasullah sudah tertidur maka, maka Utsman menemui Abu Bakar RA. Setelah beberapa hari bersama Rasulullah SAW dan tinggal di sekitar mesjid, para utusan kabilah Tsaqif mulai memahami ajaran Islam. Mereka akhirnya mentap memeluk agama yang menentramkan ini.

Penghancuran Berhala
Bani Tsaqif  adalah penyembah berhala. Salah satu yang terkenal di Thaif dan amat dimuliakan oleh mereka adalah patung Latta. Sebelum kembali ke Thaif, delegasi dari Bani Tsaqif meminta agar Rasulullah SAW mengizinkan mereka untuk sementara tidak menghancurkan patung itu. Mereka minta waktu sekitar tiga tahun. Mengapa begitu? Jika langsung mendakwahkan Islam, mereka khawatir akan dicela oleh keluarga dan kaumnya. Lebih baik kaumnya diajari Islam secara benar terlebih dahulu, sehingga dengan sendirinya akan menghancurkan patung-patung itu. Karakter Bani Tsaqif dikenal temperamental dan kasar. Perlakuan mereka terhadap Rasulullah SAW, mengusir dan melempari dengan batu hingga berdarah-darah adalah contoh nyata gambaran sifat itu. Salah satu tokoh Bani Tsaqif adalah Urwah bin Mas'ud ats-Tsaqafi. Begitu memeluk agama Islam, ia langsung kembali ke kampung dan menyeru kaumnya agar mengikuti ajaran Islam. Sebagai tokoh yang disegani, dia optimis warga akan menaati dan menuruti. Ternyata orang-orang justru marah dan menghujaninya dengan anak panah. Akhirnya Urwah tewas.
Permintaan jeda waktu berdakwah itu rupanya ditolak oleh Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah menunjuk salah satu di antara mereka -Utsman bin Abul Ash- untuk menghancurkan Latta. Rasulullah SAW juga mengirim beberapa orang sahabatnya untuk bersama-sama ke Thaif. Rombongan ini dipimpin oleh Khalid bin al-Walid. Ikut pula Mughirah bin Syu'bah dan Abu Sufyan bin Harb. Sampai di Thaif, rencana penghancuran berhala segera dilakukan. Al-Mughirah berdiri dengan membawa dua kapak seraya berkata, "Demi Allah, sungguh aku akan membuat kalian (pasukan Muslim) menertawakan Bani Tsaqif!"
Al-Mughirah langsung memukulkan kapaknya sekuat tenaga ke berhala Latta. Ternyata dia malah jatuh tersungkur. Melihat kejadian itu, penduduk Thaif bersorah, "Semoga tuhan menyingkirkan al-Mughirah. Semoga berhala itu membunuhnya!" Seketika itu al-Mughirah melompat dan menjawab, "Celakalah kalian! Sesungguhnya berhala itu hanyalah onggokan batu dan tanah liat." Al-Mughirah kemudian memukul pintu bangunan tempat berhala dan menghancurkannya. Ia kemudian menaiki pagar tertinggi lantas menyeru para sahabatnya untuk bersama-sama mengahncurkan patung tersebut hingga rata dengan tanah. Para sahabat Nabi SAW kemudian menggali pondasi dan mengeluarkan segala bentuk hiasan dan pernak-perniknya. Beberapa orang wanita kabilah Tsaqif yang menyaksikan penghancuran itu menangis histeris. Namun itu tidak berlangsung lama. Setelah Latta dan berhala-berhala lain hancur, mereka hanya bisa diam seribu kata.
Sejak saat itu masyarakat Thaif menjadi sahabat, mitra, dan memeluk Islam. Bahkan di mata para sahabat, Bani Tsaqif dianggap sebagai kaum Muslim yang terbaik dan terbesar waktu itu.

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Hijrah


Hijrah, Membuat Hidup Tenang


Saya adalah mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual di Kota Bandung. Kehidupan saya jauh dari nasihat orangtua, apalagi dalam hal menjalankan agama. Merokok, dan minuman alkohol adalah lingkungan sehari-hari yang saya temui. Namun, untuk menenggak minuman keras saya tidak pernah melakukannya meski kerap diajak teman-teman. Jangankan melaksanakan shalat, membuka al-Qur'an pun tak pernah saya lakukan. Kehidupan semakin gelap dan mata batin saya kian kabur. Segala macam perbuatan tercela hampir tiap hari dilakukan. Meskipun kadang batinku menjerit, bahwa ini bukanlah diri saya yang sebenarnya.
Saya ingin berubah menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi orangtua dan masyarakat. Tetapi, tak mudah. Godaan untuk bermaksiat lebih kuat. Sebab, uang selalu ada. Saya mudah mendapatkannya. Beberapa kenalan sering memanggil saya untuk menggarap video klip, story booard, dan mural. Sehingga satu sisi biaya hidup terbantu dari keterampilan yang saya miliki itu. Bahkan dalam beberapa event lomba yang saya ikuti, seperti lomba mural, lomba desain, lomba karikatur, saya sering menggondol juara. Untuk sekelas mahasiswa, hadiah yang didapat lebih dari cukup. Namun, seperti bensin yang terpapar sinar matahari, semua itu menguap entah kemana karena kebiasaan saya berfoya-foya.
Waktu terus berputar. Semua seperti semakin menyusahkan diri sendiri. Aneh. Batin terasa hampa, hidup tanpa arah, dan sehari-hari hanya melakukan hal-hal yang tak semestinya. Suatu saat batin saya bergejolak. Perasaan untuk segera berubah menjadi baik membuncah dalam jiwa dan pikiranku.Saya teringat nasihat orangtua, bahwa kalau mau kembali kepada Allah, maka Allah lebih senang daripada hamba itu sendiri. Deg....ada sesak di dada. Akhirnya, setelah lulus kuliah pertengahan 2007, saya berupaya meniggalkan dunia lama. Saya ingin bekerja di tempat yang memberikan makna dalam hidup. Saya terus berdo'a dan berikhtiar. Alhamdulillah terkabul. Allah menempatkan saya di sebuah perusahaan animasi. Di sini seluruh karyawan berkewajiban mengaji bersama sekali dalam sepekan. Namun tidak berlangsung lama. Pasalnya, perusahaan mengalami penurunan omzet, sehingga satu persatu karyawan keluar. Sayapun mengambil langkah yang sama.
Saat itu, entah kenapa saya ingin hijrah ke Jakarta. Saya nekat tanpa pikir panjang, tanpa relasi, dan berbekal niat yang kuat untuk hijrah berangkat ke Jakarta. Sempat beberapa bulan menjadi pengangguran. Tetapi akhirnya pertolongan Allah tiba. Saya dipanggil sebuah Lembaga Amil Zakat Nasional di Jakarta untuk wawancara. Alhamdulillah saya diterima di bagian kreatif lembaga itu. Allah Maha Kasih dan Sayang. Alhamdulillah, di tempat baru ini saya bisa mendedikasikan ilmu dan keterampilan yang dimiliki. Tapi, yang merupakan sebuah kenikmatan besar adalah bisa shalat lima waktu berjama'ah, membaca al-Qur'an setiap hari. Selain itu, lingkungan kerja yang kondusif untuk semakin taat kepada Allah SWT.
Setelah hampir enam bulan terakhir ini, orangtua saya dengan bangga mengatakan, "Inilah dari dirimu yang lama ibu nantikan, yakni menjadi anak yang tidak meninggalkan shalat, demi apapun." Di sini baru saya memahami bahwa siapa yang berhijrah ingin dekat kepada Allah, maka Allah benar-benar akan membukakan jalan. Ya Allah, semoga saya tetap istiqamah.

( Ramlan Story )

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Kisah Shalatnya Orang-orang Shaleh 1


Shalat termasuk amalan pokok dalam ajaran Islam. Setiap pribadi berkewajiban untuk melaksanakannya, jika ia telah mukallaf dan tidak ada uzur untuk meninggalkan shalat wajib. Bahkan, shalat merupakan tolok ukur bagi amalan-amalan lainnya. Inilah amalan yang pertama akan di hisab di akhirat nanti.
Setiap pribadi Muslim seharusnya memiliki perhatian besar pada amalan ini, bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya dengan menjaga kekhusyukannya. Tidak hanya shalat fardhu, shalat-shalat sunnah pun hendaknya menjaga prioritas dalam aktivitas sehari-hari.
Para ulama dan orang-orang shaleh memiliki perhatian total terhadap shalat. Mereka menjaga kekhusyukannya, juga istiqomah dalam melakukan shalat sunnah di siang hari, lebih-lebih di malam harinya.
Kali ini penulis akan mengisahkan bagaimana orang-orang shaleh dalam mendirikan amalan shalat, serta bagaimana pula kesungguhannya dalam perkara tersebut. Semoga bisa memberikan ibrah dan motivasi kepada kita dalam melaksanakan rukun Islam yang kedua.
Cerita tentang sikap orang-orang shaleh berlanjut ke pos berikutnya, silahkan di simak!

Saking khusyuknya shalat, para ahli ibadah tidak merasakan jika rumah mereka kebakaran. Bahkan ada yang tidak mampu menyelesaikan bacaan Al-Fatihah hingga sahur.

Bagi orang-orang shaleh, menegakkan shalat bukan sekadar melaksanakan perintah. Lebih dari itu, melaksanakannya adalah kenikmatan yang amat mereka rindukan meski dilakukan dalam keadaan penuh kepayahan. Orang-orang shaleh merasa amat sedih jika tidak lagi mampu melakukan shalat, Inilah yang terjadi pada Amir bin Abdillah.
Suatu saat ketika hendak wafat, beliau menangis. Orang-orang yang datang pun bertanya, "Apakah Anda menangis karena sakit saat sakaratul maut? Amir bin Abdillah menjawab, "Aku menangis bukan karena sakitnya mati atau memberati dunia, namun karena aku tidak akan bisa lagi  mendirikan qiyamul lail di musim dingin." (Shifat ash-Shafwah, 3/202)

Begitu khusyuknya orang-orang shaleh melaksanakan qiyamul lail , waktunya pun bisa amat lama. Ini kisah tentang Manshur bin al-Mu'tamar. Tetangganya memiliki dua anak perempuan. Anak-anak itu bisa naik ke atas atap di malam hari di saat manusia terlelap dalam tidurnya. Suatu saat salah satu anak perempuan tetangga itu bertanya  kepada ibunya. "Wahai ibu, untuk apa tiang yang aku saksikan berada di atas atap si fulan itu?" Jawab sang ibu, "Wahai anakku, itu bukan tiang. Itu adalah Manshur yang sedang shalat semalam suntuk dengan satu rakaat." (Shifat ash-Shafwah, 3/113)

Kekhusyukan dalam shalat membuat para ulama dan orang-orang shaleh sama sekali tidak merasa terganggu dengan hiruk pikuk di sekitarnya. Ibnu Syaudzab pernah menceritakan tentang khusyuknya Muslim bin Yasar. Jika hendak sholat, Muslim biasanya berpesan kepada keluarganya, "Berbicaralah kalian, aku tidak akan mendengar percakapan kalian." Hingga suatu saat terjadi kebakaran di rumahnya. Ternyata Muslim tetap saja shalat. Para tetangga dan orang-orang berusaha memadamkannya hingga api pun padam. Setelah Muslim bin Yasar selesai shalat, orang-orang menceritakan peristiwa tersebut. Dengan tenang beliau menjawab, "Aku tidak merasakan." (Tarikh al-Islam, 4/45)

Hal yang sama terjadi pada Amir bin Abdillah. Ketika ia sedang melaksanakan shalat, terkadang anak perempuannya menabuh rebana. Para wanita berbicara sesuka mereka di rumahnya. Namun Amir bin Abdillah tidak mendengar itu semua. Suatu saat ada yang bertanya, apakah ada yang terlintas dalam pikirannya saat shalat? Beliau menjawab, "Ya, yakni posisiku di hadapan Allah dan tempat kembaliku menuju salah satu dari dua kampung (surga atau neraka)." (Ihya' Ulumuddin, 1/242)

Ada kisah lagi tentang Ali bin Hussain bin Ali bin Abi Thalib. Suatu saat ketika ia melaksanakan shalat, rumahnya dilanda kebakaran hebat. Orang-orang berkali-kali menyerukan, "Wahai putra Rasul, api!" Ali bin Hussain tetap tenggelam dalam shalat hingga api padam. Seseorang kemudian bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau selamat dari api kebakaran?" Beliau pun menjawab,"Yang membuat api itu mati adalah api yang lain (neraka)." (Shifat ash-Shafwah, 2/67)
Maksudnya, karena begitu takut dengan api neraka, maka seseorang menjadi khusyuk dalam shalat. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya.

Kisah mengenai nikmatnya shalat orang-orang shaleh juga didapati pada masa Rasulullah SAW. Tepatnya di saat perang Dzat ar-Riqa', sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan lainnya. Ada dua sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sedang berjaga. Keduanya sepakat bahwa jika lelaki Anshar giliran jaga, maka lelaki Muhajirin tidur. Berikutnya akan gantian. Lelaki itu kemudian melaksanakan shalat. Rupanya salah satu pasukan musuh mengetahui dan segera melepaskan anak panah ke arah sahabat yang sedang shalat itu. Namun dengan tenang, ia mencabut anak panah itu dan terus melaksanakan shalat. Musuh kembali melepaskan anak panah. Sahabat Anshar kembali mencabutnya. Hal itu berulang sampai tiga kali, kemudian ia rukuk dan sujud. Setelah selesai shalat, sahabat Anshar membangunkan saudaranya. Mengetahui tubuh sahabatnya berdarah-darah, lelaki Muhajirin bertanya, "Subhanallah! Kenapa engkau tidak membangunkanku sejak awal kau terkena panah?" Sahabat Anshar menjawab, "Aku sedang membaca sebuah surat, dan aku enggan memutusnya." (Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, hal 194)

Orang-orang yang shaleh yang tenggelam dalam kekhusyukan shalat itu amat bersungguh-sungguh dalam munajat. Semisal yang terjadi pada Ahmad bin Abi al-Hiwari, seorang ulama yang juga guru dari Imam Abu Dawud serta Ibnu Majah. Muhammad bin Auf al-Himshi mengisahkan tentang shalatnya ulama ini. Ia menyaksikan Ahmad saat bersama di Antharsus. Ketika melaksanakan shalat Isya', ia membaca surat al-Fatihah dan berhenti pada 'iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Tak mampu lagi meneruskannya. Muhammad kemudiam tidur. Saat Muhammad bin Auf al-Himshi terbangun sebelum sahur, ia masih mendengar Ahmad mengulang-ulang 'iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, tanpa mampu meneruskannya. Biografi Ahmad bin Abi al-Hiwari dicatat juga dalam Tarikh ash-Shufiyah dan Mihan ash-Shufiyah (Lihat Siyar A'lam an-Nubala, Thabaqat 13 hal 86-94)

Demikianlah para ulama dan orang-orang shaleh terdahulu dalam menegakkan shalat. Sama sekali tak terbebani, justru amat menikmati.

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Kisah Shalatnya Orang-orang Shaleh 2


Orang-orang shalehah tak mau kalah. Ini beberapa kisah kaum wanita ahli ibadah.


Tersebutlah kisah tentang Amrah, istri Habib al-Ajami. Tiap malam dia selalu terbangun. Jika di waktu sahur suaminya masih tertidur, maka ia berbisik untuk membangunkannya. Katanya, "Bangunlah. Malam telah berlalu dan telah tiba waktu pagi. Perjalananmu masih panjang sedangkan bekal masih sedikit. Kafilah orang-orang shaleh telah berlalu di depan kita, sedangkan kita masih belum bergerak." (Shifat ash-Shafwah, 4/35)

Seorang shaleh bernama Rayah al-Qisyi juga punya istri ahli ibadah. Al-Qisyi suatu saat menceritakan pengalamannya dengan sang istri yang luar biasa. Hal itu membuatnya memperoleh banyak pelajaran. Kisahnya begini : 
"Jika istriku telah melaksanakan shalat Isya', maka ia berdandan, memakai wewangian, serta mengenakan gaun yang indah dan mendatangiku lalu menyampaikan, 'Apakah engkau ada hasrat?' Jika aku mengatakan 'Ya', maka ia bersamaku. Namun jika aku mengatakan, 'Tidak', maka ia melepas kembali gaunnya dan mengambil tempat untuk mendirikan shalat hingga waktu subuh tiba." (Shifat ash-Shafwah, 4/44)

Ada seorang wanita shalehah yang memiliki kelebihan dalam shalat adalah budak wanita Qadhi Abdullah bin Hasan. Suatu saat sang qadhi tidak mendapati budak wanitanya itu di malam hari. Setelah mencari-cari, qadhi Bashrah ini mendapati sang budak tengah bersujud dan berdo'a, "Demi kecintaan-Mu kepadaku, maka ampunilah aku." Setelah itu, Qadhi Abdullah menyampaikan,"Janganlah dirimu menyatakan,'Demi kecintaan-Mu,' namun katakanlah, "Demi kecintaanku kepada-Mu." Wanita itu menjawab,"Kecintaan-Nya padaku mengeluarkan diriku dari syirik menuju Islam, hingga Dia membangunkan mataku dan menidurkan mata anda." Qadhi Abdullah akhirnya berkata,"Pergilah, engkau merdeka karena Allah." Sang budak menjawab,"Wahai Tuan, Anda telah memperlakukan saya dengan buruk. Sebelumnya saya memiliki dua pahala. Kini hanya satu pahala." (Shifat ash-Shafwah, 4/39)
Ya, budak yang beriman akan memperoleh dua pahala ketaatan, yakni ketaatan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada majikannya. Jika merdeka, dia hanya punya kesempatan taat kepada Allah saja.

Budak wanita Hasan bin Shalih juga termasuk wanita ahli ibadah. Suatu saat Hasan menjualnya kepada suatu kaum. Di malam hari budak itu pun membangunkan penghuni rumah,"Wahai penghuni rumah, dirikanlah shalat!" Mereka bertanya,"Apakah ini sudah pagi?" Sang budak balik bertanya,"Apakah kalian hanya melaksanakan shalat wajib saja?" Mereka pun menjawab,"Ya."
Suatu saat ia bertemu kembali dengan Hasan, mantan majikannya. Budak itu mengadu,"Wahai Tuanku, Anda menjual hamba kepada kaum yang tidak shalat kecuali yang wajib saja. Ambillah kembali hamba." Hasan bin Shalih akhirnya membeli kembali budak wanitanya itu. (Ilya' Ulumuddin, 1/501)

Ada lagi deretan kaum Hawa yang istiqomah menghidupkan malam dengan ibadah. Misalnya wanita shalehah bernama Sya'wanah. Sang murid, Kurdiyah, mengisahkan :
Suatu malam aku menginap di rumah Sya'wanah. Saat aku tertidur, beliau membangunkanku sembari mengatakan, "Bangunlah wahai Kurdiyah, ini bukan tempat untuk tidur. Sesungguhnya itu tempatnya di kuburan." (Thabaqat ash-Shufiyah, hal 395)
Maksudnya, dunia adalah tempat untuk beramal sebanyak-banyaknya, bukan tempat untuk bersantai. Dan istirahatnya seseorang mukmin adalah di saat dia menikmati balasan dari amalannya yang shaleh, yakni setelah wafat.

Ada lagi Ghudnah Wi'aliyah. Mengenai wanita shalehah ini, Abu Walid al-Abdi berkisah, "Kadang aku menyaksikan Ghudnah Wi'aliyah menghidupkan malamnya. Dan ia membaca surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa, al-Ma'idah, al-An'am, dan al-A'raf dalam satu rakaat." (Shifat ash-Shafwah, 4/34)

Mu'adzah al-Adawiyah adalah ahli ibadah yang hidup semasa dengan Rabi'ah al-Adawiyah. Wanita ahli ibadah ini selalu menghidupkan malam dengan shalat. Seorang wanita yang berkhidmat kepada Mu'adzah mengisahkan bahwa jika datang rasa kantuk, maka ia bangkit dan jalan berkeliling di dalam rumah sambil berkata, "Wahai jiwa! Tidur ada di hadapanmu! Kalau engkau telah wafat maka benar-benar panjang tidurmu di kubur dengan kerugian atau kegembiraan!"
Mu'adzah mengucapkan kata-kata tersebut hingga datang waktu fajar. (Tsabaqat ash-Shufiyah, hal 391)
Saat menjelang wafat, Mu'adzah al-Adawiyah sempat menangis kemudia tertawa. Orang-orang yang berada di sekitar wanita ahli ibadah itu bertanya, "Kenapa Anda menangis lalu tertawa?" Jawab Mu'adzah, "Aku menangis karena ingat ketika aku tidak bisa lagi berpuasa, shalat, dan berdzikir. Aku tertawa karena Abu ash-Shahba' telah menjemputku di halaman rumah dengan dua pakaian hijau bersama sekumpulan orang yang tidak pernah aku saksikan di dunia, dan aku tertawa kepadanya." (Shifat ash-Shafwah, 4/24)
Abu ash-Shahba' adalah suami Mu'adzah al-Adawiyah yang telah wafat. Pria ini juga dikenal sebagai ahli ibadah. Sedangkan Mu'adzah adalah tabi'iyah yang bertemu dan meriwayatkan Hadits dari 'Aisyah.

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

Kisah Shalatnya Orang-orang Shaleh 3


Ar-Rabi' bin Khutsaim adalah seorang tabi'in yang dikenal amat khusyuk dalam shalat. Suatu saat seorang laki-laki yang biasa pergi ke masjid lebih awal menjumpainya sedang sujud. Setelah mengamati, laki-laki itu pun menyatakan, "Ar-Rabi' bin Khutsaim jika bersujud seperti pakaian yang teronggok, hingga datang burung-burung pipit dan hinggap di atas tubuhnya." (Shifat ash-Shafwah, 3/39)
Sementara al-A'masy berkisah tentang betapa khusyuknya Ibrahim at-Taimi ketika shalat, "Ibrahim at-Taimi jika sujud, makat berdatangan padanya burung-burung pipit, yang mematuki punggungnya seakan-akan ia adalah tembok." (Shifat ash-Shafwah, 3/57)'

Bukan hanya dihampiri hewan-hewan liar, bahkan sejumlah ulama sampai di sengat serangga. Akan tetepi semua itu tidak mengganggu shalatnya sama sekali. Hal ini antara lain yang dialami oleh Abu Abdullah al-Marwazi, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Bakr Muhammad bin Ishaq :
"Aku tidak mengetahui siapa yang shalatnya lebih bagus daripada Abu Abdullah al-Marwazi. Telah sampai kepadaku kabar bahwa suatu saat ada seekor zunbur (kumbang penyengat) menyengat dahinya, hingga darah mengalir ke wajahnya, namun ia tidak bergerak sama sekali." (Shifat ash-Shafwah, 4/130)
Dekimian juga yang terjadi pada al-Mua'lla bin Manshur ar-Razi. Saat melaksanakan shalat, ada seekor lebah menyengat kepalanya. Di kala itu al-Mu'alla tidak menoleh dan bergeming hingga ia menyempurnakan shalatnya. Setelah melaksanakan shalat, orang-orang di sekitarnya ingin mengetahui apa yang terjadi. Mereka menyaksikan bekas sengatan lebah dan bengkak yang cukup besar di kepalanya. (Shifat ash-Shafwah, 4/81)

Ulama besar Imam al-Bukhari pernah mengalami hal yang serupa. Suatu saat ia melaksanakan shalat Zhuhur bersama para sahabatnya. Selanjutnya melaksanakan shalat sunnah. Setelah usai, ia ujung gamisnya dan bertanya kepada para sahabatnya, "Apakah kalian melihat ada sesuatu di balik gamis?"
Ternyata di balik kainnya didapati seekor lebah. Terlihat pula bekas sengatan di kulit Imam al-Bukhari sebanyak 16 atau 17 sengatan. Hal itu menyebabkan bengkak di badan. Seorang sahabat bertanya, "Mengapa engkau tidak membatalkan shalat sejak awal disengat?" Imam al-Bukhari menjawab, "Aku sedang membaca surat, dan aku ingin menyempurnakannya!" (Siyar A'lam an-Nubala, 12/442)

Selain serangga, sejumlah binatang berbahaya kadang menghampiri orang-orang shaleh yang sedang shalat. Hal ini antara lain dialami oleh Amir bin Abdillah. Tiba-tiba ada seekor ular yang masuk dari bawah gamisnya, lalu keluar melalui saku. Usai menunaikan shalat, seseorang bertanya kepada Amir, "Kenapa engkau tidak mengibaskan ular itu darimu?" Ahli ibadah di kalangan tabi'in ini mengatakan, "Demi Allah, aku tidak tahu kapan masuknya ular itu dan keluarnya. Aku benar-benar malu kepada Allah, jika aku sampai takut kepada selain Dia." (Al-Kawakib ad-Durriyah, 1/341)
Kisah lainnya adalah tentang Amru bin Utbah, seorang tabi'in yang dikenal dengan kekhusyukan dalam shalat. Suatu saat ia bersama beberapa sahabatnya mengikuti peperangan. Dalam suatu waktu, Amru tidak nampak di tengah-tengah sahabatnya sehingga banyak orang berusaha mencari-carinya. Rupanya Amru sedang shalat dengan tenangnya di sebuah gunung. Awan tampak menaunginya. Suatu malam terdengar suara auman singa. Semua orang di tempat itu panik dan berlarian. Hanya Amru bin Utbah yang tetap tenang dalam shalatnya. Setelah peristiwa itu, seseorang bertanya, "Apakah anda tidak takut singa?" Amru bin Utbah pun menjawab, "Sesungguhnya aku benar-benar malu kepada Allah, jika aku sampai takut kepada selain Dia." (Shifat ash-Shafwah, 3/70)

Hal yang sama terjadi pada Shillah bin Asyum al-Adawi, seorang ahli ibadah dari Bashrah. Suatu saat ia ikut serta dalam sebuah pertempuran di kota Kabul (Afghanistan). Saat malam ketika pasukan mulai beristirahat, seorang bernama Zain diam-diam ingin tahu amalan yang dilakukan oleh Shillah. Zaid memperhatikan Shillah melaksanakan shalat Isya', kemudian berbaring, menunggu sampai orang-orang tertidur. Zaid memberitahunya, "Orang-orang sudah tidur!" Tampaklah Shillah kemudian bangkit dan bergegas mencari air wudhu. Ia lalu menuju sebuah celah tebing yang ada di dekatnya, kemudian melaksanakan shalat. Tak lama kemudian Zaid menyaksikan seekor singa datang mendekati tempat Shillah. Tentu saja Zaid merasa khawatir dan ketakutan. Ia kemudian memanjat pohon agar terhindar dari bahaya. Singa itu kemudian menoleh ke arah Shillah yang sedang bersujud. Dalam hati Zaid berkata, "Singa itu hendak menyerangnya." Namun Zaid menyaksikan Shillah terus shalat sampai salam. Setelah itu Shillah kemudian berkata, "Wahai binatang buas, carilah rizkimu di tempat lain." Subhanallah, singa itupun pergi meninggalkannya. (Shifat ash-Shafwah, 3/217)

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:

 
back to top